Kurikulum 2013 dinilai mulai
diragukan efektivitasnya. Ada beberapa hal penting yang patut diperhatikan.
Pertama, guru tidak siap
mengajarkan kurikulum ini. Kedua, infrastruktur kurikulum belum tersedia
sepenuhnya.
Hal lain yang berpotensi akan
mempengaruhi penerapan kurikulum ini adalah pergantian rezim di Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pasca pemilihan presiden (Pilpres)
2014. Kurikulum yang secara serentak diberlakukan mulai tahun ajaran 2014/2015
di semua jenjang sekolah, mulai dasar hingga menengah ini dinilai terlalu
dipaksakan untuk diterapkan.
Berbagai masalah muncul ketika
banyak sekolah mengeluh karena belum tersedianya buku paket untuk murid maupun
pegangan guru. Masalah lainnya adalah minimnya kesiapan guru dalam menerapkan
kurikulum ini karena banyak guru yang belum mendapat pelatihan.
Seperti dilansir dari
keterangan tertulis yang diterima Okezone, Kamis (28/8/2014), Indonesia
Corruption Watch (ICW) telah melakukan pemantauan di Jakarta selama tiga minggu
pertama sejak kurikulum ini diterapkan.
Dari pemantauan tersebut,
diperoleh beberapa temuan, seperti buku pelajaran siswa belum tersedia
seluruhnya terutama di jenjang pendidikan dasar dan menengah (SD dan SMP).
Akibatnya, murid dan orangtua murid menggandakan buku melalui fotokopi, membeli
di toko buku, atau mengunduh dari internet.
Selain itu, orangtua dan murid
harus mengeluarkan biaya untuk mendapatkan bahan kurikulum 2013. Pihak sekolah
tidak bersedia membayar biaya unduh, print, fotokopi atau pembelian buku di toko
buku dengan alasan bahwa dana bantuan operasional sekolah (BOS) terbatas dan
hanya untuk membayar buku yang telah dipesan oleh sekolah. Pertanyaanya, siapa
yang akan menanggung biaya yang terlanjur digunakan oleh orangtua murid untuk
pengadaan materi pelajaran kurikulum 2013 tersebut?
Kemudian, sebagian besar guru
belum mendapatkan training kurikulum 2013. Sebagian kecil lainnya sudah
mengikuti paling sedikit selama dua hari dan paling banyak satu minggu. Meski
yakin bisa mengajarkan materi pelajaran sebagaimana mengajar saat kurikulum
sebelumnya, akan tetapi mereka merasa belum cukup mendapatkan materi kurikulum
2013 seutuhnya. Kualitas belajar mengajar di sekolah dikhawatirkan semakin
rendah, karena guru tidak menguasai materi kurikulum 2013 sepenuhnya.
Tidak hanya itu, guru juga
mengeluhkan metode penilaian siswa yang dianggap memberatkan. Guru membuat
penilaian dibuat dalam bentuk narasi untuk setiap siswa.
Hal ini bermasalah terutama
bagi guru yang mengelola murid dalam jumlah besar seperti di tingkat SMP.
Seorang guru harus menilai lebih dari 200 murid secara naratif, padahal
mengenal nama mereka saja selama tahun ajaran belum tentu bisa mereka lakukan.
Guru hanya mampu mengingat murid yang menonjol dan menarik perhatiannya.
Lalu, guru belum memiliki buku
pegangan guru terkait kurikulum 2013. Akhirnya guru mengajar hanya berdasarkan
bahan yang diunduh.
Sehingga, murid SMA hanya
disediakan buku teks untuk mata pelajaran (mapel) wajib, sedangkan untuk
penjurusan ditanggung oleh siswa itu sendiri. Dengan demikian, buku kurikulum
2013 tidak gratis sepenuhnya.
ICW menilai, kekacauan
penerapan kurikulum 2013 merupakan bentuk kelalaian pemerintah dalam menunaikan
kewajibannya untuk menyediakan pendidikan bermutu. Akibatnya, hak murid dan
guru atas pendidikan bermutu tersebut terancam.
Menyikapi hal itu, maka ICW
merekomendasikan untuk menghentikan pelaksanaan kurikulum 2013 dan kembali ke
kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Sumber :http://kampus.okezone.com/read/2014/08/28/373/1031255/tanda-tanda-kegagalan-kurikulum-2013