Tampilkan postingan dengan label Koran Pertama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Koran Pertama. Tampilkan semua postingan

Jumat, 26 September 2014

MEDAN - PRIJAJI, Koran Pribumi Pertama di Indonesia

image



Ketika kita mendengar nama Tirto Adisurjo (TAS), banyak diantara kita yang masih mengerutkan kening karena tidak mengenalnya. Namun apabila disebutkan nama Minke, tokoh utama dalam novel tetralogi karya Pramoedya Ananta Toer, tentu sungguh memalukan kalau kita tak mengenalnya. Ketahuilah, sungguhnya tokoh Minke dalam Novel tersebut adalah Tirto Adisurjo itu sendiri. Dialah tokoh pers nasional sekaligus pejuang yang pertama berani menerbitkan Koran dari kalangan pribumi.
Pengasingan dan pembuangan bukanlah hal baru dalam hidup TAS. Pena tajam dan lugas kerap menjadikan dirinya sebagai kerikil tajam oleh pemerintahan kolonial Belanda kala itu. Kepiawaian dan keberanian tanpa tedeng aling-aling yang menggugah dan mendapat simpati publik.
Menurut catatan Dr. Rinkes, Medan Prijaji diminati oleh masyarakat karena dalam salah satu rubrik terdapat penyuluhan hukum gratis. Simpati pun datang melimpah dari masyarakat hingga pada tahun ketiga tepatnya Rebo 5 Oktober 1910, Medan Prijaji berubah menjadi harian dengan 2000 pelanggan.
Medan Prijaji merupakan Koran pertama di Indonesia dibawah naungan TAS. Koran ini dianggap sebagai Koran pertama di Indonesia. Koran pertama ini disebabkan hampir seluruh karyawan Medan Prijaji adalah Boemi Poetra atau penduduk Indonesia dengan menggunakan bahasa melayu.
Koran yang berpusat di kota Bandung ini memposisikan diri sebagai corong suara publik dengan moto “Orgaan Boeat bangsa jang terperentah di H.O. tempat akan memboeka swaranya anak-Hindia”salah satu moto yang dianggap berani dan membentuk opini umum.
Tulisan-tulisan TAS yang begitu berani langsung menuding muka orang. Tak ada bijakan kolonial yang dianggap memberatkan rakyat luput dari penanya. Koran ini benar-benar menjadi ajang”perkelahian” dibeberapa daerah seperti Banten, Rembang, Cilacap, Bandung. Tulisan-tulisannya kerap diperkaarakan oleh ppihak yang merasa disudutkan dari pemberitaannya.
Salah satu kasus dari sekian banyak tulisan di muat pada Medan Prijaji No. 19-1909 mendappat dukungan 236 warga desa Bapangan Purworejo yang pasng badan. Pada gilirannya tulisan ini memuat TAS dibuang selama 2 bulan di Lampung. Kasus ini kemudian mendapat perhatian pers Belanda.
Kasus pemula ketika ada indikasi penyalahgunaan kewenangan antara Aspirant ControleurPurworejo A Simon dengan wedana Tjorosentono. Kedua pejabat itu dituduh karena mengangkat lurah bapangan yang tidak mendapat dukungan suara. Sementara kandidat pertama yang didukung , Mas Soerodimedjo, malah ditangkap dan dikenakan hukuman.
Pada tulisan itu TAS memperolok kedua pejabat itu dengan sebutan monyet penetek atau ingusan. Tulisan itu merupakan wujud kesalahan TAS yang melihat peristiwa atau kebijakan yang dianggap merugikan publik.
Perhatian tak henti-henti menyuarakan peristiw atau kebijakan yang dianggap merugikan publik dan sikapnya yang selalu membela kawula (masyarakat kecil) melalui bentuk investivigasi reporting. Model pembelaan terhadap kasus yang memuat dalam Medan Prijaji ini pada perkembangan jurnalistik disebut sebagai jurnalistik advokasi.
Tokoh pejuang ini menginspirasi sastrawan besar indonesia Pramoedya Ananta Toer yang  dituliskannya pada novel Tralogi dan Sang Pemula. Pada novel Tralogi, TAS digambarkan sebagai tokoh Minke yang memiliki peranan pada masa-masa awal pembangkitan  nasional dengan membangun organisasi dan pers.
Keberanian itu tercatat dalam buku Sekilas Pejuangan Surat kabar yang terbit pada tahun 1985. Sudarjo Tjokosisworo dalam tulisannya menyatakan bahwa TAS merupakan wartawan Indonesia pertama yang menggunakan surat kabar sebagai pembentuk pendapat umum. Kacaman dan kritik pedas menghantarkan TAS “disingkirkan” dari pulau jawa menuju Pulau Bacan dekat Halmahera (Maluku Utara).
Ki Hajar Dewantara yang notabene seorang pahlawan pendidikan nasional dalam buku kenangan-kenangan pada tahun 1952 mengatakan bahwa TAS merupakan wartawan modern yang menarik perhatian karena lancar tajam penanya. Bekas murid stovia yang waktu itu bekerja sebagai redaktur harianBintang Betawi kemudian bernama Berita Betawi Pada akhirnya memimpin Koran Medan Prijaji.
Takashi Shiraisi dalam buku Zaman berherak mengatakan seorang TAS merupakan salah orang yang memenuhi isi catatan terutama dari laporan DR Rinkes. Hal ini diakibatkan karena TAS memiliki banyak peranan dalam pembentukan Serikat Dagang Islam di Surakarta bernama Haji Samanhudi.
Pengakuan terhadap kiprah tokoh ini kemudian dikukuhkan pada tanggal 3 November 2006 dengan gelar pahlawan Nasional melalui Keppres RI NO 85/TK/2006, sementara pada tahun 1973 tokoh ini dikukuhkan sebagai Pahlawan Pers Nasional.

Nah, tambah lagi satu pengetahuan kita tentang pahlawan di Indonesia. Jangan lupa ya, “bangsa yang benar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya ”…

Sumber : http://koransuararakyat.com/article/96507/pahlawanku---tirto-adhi-soerjo--penerbit-koran-pertama-di-indonesia.html

Senin, 22 September 2014

BATAVIASE NOUVELLES, Koran Pertama di Batavia



 




270 tahun lalu, edisi perdana Bataviase Nouvelles terbit di Batavia. Inilah koran pertama di negeri yang hari ini bernama Indonesia.

OLEH: WENRI WANHAR



JAN Pieterszoon Coen memerintahkan anak buahnya membuat lembaran berita internal. Empat halaman kertas folio ditulis tangan. Isinya berita ringkas kegiatan perdagangan serta kedatangan dan keberangkatan kapal-kapal niaga, baik di Batavia  maupun di berbagai factorijen, pos-pos perdagangan Belanda.

Gubernur Jenderal keempat Serikat Dagang Hindia Timur atau VOC (1617-1623) tersebut menamai lembaran berita itu Memorie der Nouvelles. “Memorie diedarkan di kalangan pejabat dan pegawai kompeni setelah melalui proses pemeriksaan,” ungkap F. de Haan, sejarawan kolonial penulis buku Oud Batavia.

Karena prosesnya manual, oplah “surat kabar” yang coba-coba dirintis Coen itu tentu sangat terbatas. Andai saja saat itu sudah ada mesin mungkin akan lain ceritanya, mengingat sejarah pers berpaut dengan keberadaan mesin cetak.

Mesin cetak baru masuk ke Hindia Timur pada 1668, ada juga yang menyebut 1659. Yang terakhir merujuk laporan Niehoff dalam Zae en Lantreise, dilansir dari Seabad Pers Kebangsaan 1907-2007 karya Agung Dwi Hartanto. Mulanya mesin cetak hanya untuk menggandakan laporan-laporan VOC terkait negeri jajahan. Istilahnya bookbinder.

Pada masa mesin cetak inilah Jan Erdman Jordens punya gagasan menerbitkan koran yang jauh lebih modern dibanding Memorie. Pegawai VOC yang punya bisnis kecil-kecilan itu pun menyampaikan idenya ke Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff.

Gayung bersambut. Pendek kisah, 7 Agustus 1744, edisi perdana Bataviase Nouvelles terbit empat halaman. Dicetak dalam layout dua kolom. Ukurannya sedikit lebih besar daripada folio.

Bataviase merujuk pada sebutan untuk orang-orang Batavia, mereka yang hidup di Batavia dan mereka yang berselera Batavia. Istilah Bataviase ini, mengingatkan kita pada istilah Parisian untuk orang-orang Paris, New Yorker untuk orang-orang New York atau Berliner untuk orang-orang Berlin. Sedangkan Nouvelles serupa dengan news. Kurang lebih artinya berita baru.

Koran pertama di negeri yang hari ini bernama Indonesia itu, “terbit seminggu sekali. Tapi Jordens punya angan menjadikannya harian,” tulis Kasijanto Sastrodinomo dalam “Media dan Monopoli Dagang, Percetakan dan Penerbitan di Indonesia Pada Masa VOC,” jurnal Wacana, Vol. 10 No. 2, Oktober 2008.

Mula-mula beritanya hanya seputar perdagangan dan tetek bengek VOC. Mulai dari berbagai ketentuan administrasi, kedatangan kapal, pengangkatan dan pemberhentian pejabat hingga pemecatan dan kematian pegawai kantor dagang itu. Sebagai koran dagang, Batavise Nouvelles memenuhi sebagian besar halamannnya dengan iklan dan berita lelang.

Kemudian tentang pesta-pesta, jamuan, obituari dan doa-doa keselamatan bagi kapal yang akan berlayar jauh menyeberang ke negeri induk. “Dalam beberapa edisi, koran itu juga menerbitkan karangan tentang sejarah awal koloni, dan sejarah gereja secara singkat. Semacam feature yang banyak ditulis dalam media sekarang,” tulis Kasijanto.

Karena mendapat sambutan hangat dari masyarakat Batavia, pada 9 Februari 1745 surat izin usaha Bataviase Nouvelles diperpanjang hingga tiga tahun ke depan. Namun, lain lubuk memang lain pula ikannya. De Heeren Zeventien (Tuan-tuan XVII, yakni 17 anggota Dewan Direktur VOC) di Amsterdam, Belanda, khawatir koran itu akan membuka informasi yang sifatnya “rahasia.” Maka, melalui sepucuk surat bertanggal 20 November 1745, De Heeren Zeventien meminta van Imhoff memberedel Bataviase Nouvelles.

Gubernur Jenderal VOC ke-27 itu pun terkejut. Jordens tak kalah kaget, mengingat selama ini berita-berita di koran itu tak pernah mengkritisi VOC. Akan tetapi, van Imhoff tak kuasa melawan perintah atasan. Sejak 20 Juni 1746, Bataviase Nouvelles tidak lagi menjadi bagian dari sarapan pagi masyarakat Batavia.

Sumber : 
judul asli : Bataviase Nouvelles, Pertama terbit Pertama dibredel
http://historia.co.id/artikel/modern/1439/Majalah-Historia/Bataviase_Nouvelles,_Pertama_Terbit_Pertama_Diberedel